UPAYA PEMBERANTASAN BUTA AKSARA DI INDONESIA

Oleh: Reni Fatma Wilastinova

I. Pendahuluan dan Tinjauan Pustaka

Pengembangan Masyarakat (community development) merupakan wawasan dasar bersistem tentang asumsi perubahan sosial terancang yang tepat dalam kurun waktu tertentu. Konsep Pengembangan Masyarakat sendiri menyangkut tentang aspek-aspek sosial, ekonomi, budaya, sosiologi, psikologi dan politik. Pengembangan dilaksanakan dengan tujuan agar kehidupan manusia baik secara individu maupun kelompok dapat menuju ke arah yang lebih baik.

Pengembangan Masyarakat (community development) sebagai salah satu model pendekatan pembangunan (bottoming up approach) merupakan upaya melibatkan peran aktif masyarakat beserta sumber daya lokal yang ada. Dan dalam pengembangan masyarakat hendaknya diperhatikan bahwa masyarakat punya tradisi, dan punya adat-istiadat, yang kemungkinan sebagai potensi yang dapat dikembangkan sebagai modal sosial.

Pelaku atau subyek dari Pengembangan Masyarakat salah satunya adalah pemerintah. Program Pengembangan Masyarakat dari pemerintah merupakan program yang sudah terencana secara khusus sebagai indikator keberhasilan suatu program pemerintahan. Oleh karena itu, Pengembangan Masyarakat di sini adalah sesuatu hal yang telah terencana sejak awal. Salah satu program Pengembangan Masyarakat oleh pemerintah adalah pemberantasan buta aksara atau biasa disebut dengan buta huruf.

Dari sebuah surat kabar menginformasikan bahwa kondisi penduduk dunia yang 861 juta diantaranya masih mengalami buta huruf atau buta aksara. Ironisnya, 15,04 juta diantaranya berada di Indonesia. Hal ini sempat membuat sejumlah badan dunia seperti UNESCO, UNICEF, WHO, World Bank dan Human Right Watch sangat prihatin dengan kondisi seperti ini. Pasalnya, masalah buta huruf atau buta aksara sangat terkait dengan kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan dan ketidakberdayaan masyarakat. Atas dasar inilah badan-badan internasional gencar mengkampanyekan dan mensosialisasikan pentingnya pemberantasan buta aksara di dunia khususnya negara seperti Indonesia.

Melek huruf merupakan dasar pengetahuan bagi manusia. Dengan membaca manusia dapat meningkatkan kualitas dirinya, yang berujung pada tingginya intelektualitas seseorang. Terlebih saat ini manusia telah memasuki era informasi. Di mana fenomena globalisasi yang terjadi saat ini mengalami akselerasi yang begitu cepat, sebagai dampak dari penerapan Hi-tech society (masyarakat berteknologi tinggi), yang menyebabkan manusia tergiring pada pola interaksi yang sangat cepat.

Kondisi yang demikian menuntut terciptanya individu-individu yang tidak hanya mampu beradaptasi, akan tetapi juga dapat berperan penting di dalamnya. Untuk itu, kita harus sadar bahwa pemberantasan buta huruf merupakan tanggung jawab bersama. Dalam hal ini pemerintah, lembaga pendidikan, LSM, dan masyarakat harus mempunyai kemauan untuk keluar dari lingkaran buta huruf yang menyengsarakan.

Tujuan dalam pembuatan tulisan ini antara lain:
1. Mengetahui adanya buta aksara di Indonesia.
2. Mengetahui metode yang digunakan dalam upaya pemberantasan buta aksara melalui pendekatan Pengembangan Masyarakat.
3. Mengetahui upaya pemerintah dalam memberantas buta aksara yang ada di Indonesia.
4. Mengetahui kendala yang dihadapi dalam upaya pemberantasan buta aksara.

 

Tinjauan Pustaka

Pengembangan Masyarakat (community development) terdiri dari dua konsep, yaitu “pengembangan” dan “masyarakat”. Secara singkat, pengembangan atau pembangunan merupakan usaha bersama dan terencana untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Bidang-bidang pembangunan biasanya meliputi beberapa sektor, yaitu ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sosial-budaya. Masyarakat dapat diartikan dalam dua konsep, yaitu:

1. Masyarakat sebagai sebuah “tempat bersama”, yakni sebuah wilayah geografi yang sama. Sebagai contoh, sebuah rukun tetangga, perumahan di daerah perkotaan atau sebuah kampung di wilayah pedesaan.

2. Masyarakat sebagai “kepentingan bersama”, yakni kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan dan identitas. Sebagai contoh, kepentingan bersama pada masyarakat etnis minoritas atau kepentingan bersama berdasarkan identifikasi kebutuhan tertentu seperti halnya pada kasus para orang tua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus (anak cacat phisik) atau bekas para pengguna pelayanan kesehatan mental (Mayo, 1998).

Tiga fokus perhatian Pengembangan Masyarakat, yaitu masalah, populasi, dan arena. Tiga aspek tersebut dapat digunakan sebagai unit analisis bagi para Pekerja Sosial dalam mengidentifikasi dan mempelajari kebutuhan akan perubahan dan karenanya dapat dijadikan patokan dalam merumuskan solusi. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan berdasarkan ketiga unit analisis tersebut pada intinya melibatkan dua kegiatan utama, yakni mempelajari literatur dan mewawancarai populasi yang sedang terkena masalah yang mungkin cukup serius (Netting, Kettner dan Mc Murtry, 2004).

Masalah dan kebutuhan muncul dalam berbagai bentuk. Sebagian masalah berbentuk persoalan personal atau keluarga yang dapat dipecahkan dalam konteks individu atau keluarga pula. Masalah lainnya bisa memiliki spektrum yang lebih luas dan hanya dapat dipecahkan melalui perubahan sosial pada tingkat rukun tetangga, organisasi, dan komunitas. Para pemuka masyarakat, pemimpin politik dan aktivis biasanya sangat bersemangat untuk melakukan perubahan dengan berusaha secepat mungkin menghasilkan solusi-solusi yang dianggapnya paling praktis (Netting, Kettner dan Mc Murtry, 2004).

Pengembangan Masyarakat memiliki fokus terhadap upaya menolong anggota masyarakat yang memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama, mengidentifikasi kebutuhan bersama dan kemudian melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pengambangan Masyarakat seringkali diimplementasikan dalam bentuk:
1. Proyek-proyek pembangunan yang memungkinkan anggota masyarakat memperoleh dukungan dalam memenuhi kebutuhannya.
2. Kampanye dan aksi sosial yang memungkinkan kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi oleh pihak-pihak lain yang bertanggungjawab.
(Payne, 1995).

Pengembangan Masyarakat adalah “the process of assisting ordinary people to improve their own communities by undertaking collective actions.” Secara khusus Pengembangan Masyarakat berkenaan dengan upaya pemenuhan kebutuhan orang-orang yang tidak beruntung atau tertindas, baik yang disebabkan oleh kemiskinan maupun oleh diskriminasi berdasarkan kelas sosial, suku, jender, jenis kelamin, usia, dan kecacatan (Twelvetrees, 1991).

Secara garis besar, perspektif Pengembangan Masyarakat dibagi ke dalam dua bingkai, yakni pendekatan “profesional” dan pendekatan “radikal”. Pendekatan profesional menunjuk pada upaya untuk meningkatkan kemandirian dan memperbaiki sistem pemberian pelayanan dalam kerangka relasi-relasi sosial. Sementara itu, berpijak pada teori struktural neo-Marxis, feminisme dan analisis anti-rasis, pendekatan radikal lebih terfokus pada upaya mengubah ketidakseimbangan relasi-relasi sosial yang ada melalui pemberdayaan kelompok-kelompok lemah, mencari sebab-sebab kelemahan mereka, serta menganalisis sumber-sumber ketertindasannya (Twelvetrees, 1991).

 

II. Analisis
Buta Huruf atau Buta Aksara di Indonesia

Berdasarkan laporan resmi dari badan sosial dunia, Indonesia mempunyai banyak masyarakat yang masih buta huruf. Pada tahun 2005, penduduk Indonesia yang masih buta huruf pada usia 10 tahun keatas sebanyak 15,04 juta orang. Dengan perincian jumlah penduduk usia 15 – 44 tahun yang buta huruf tercatat 3,.5 juta orang, sedangkan usia 45 tahun keatas yang masih buta huruf tercatat 11,07 juta. Hal ini menunjukkkan bahwa tingkat kesadaran pendidikan di Indonesia masih tergolong rendah. Apabila hal ini tidak ditanggulangi, maka Indonesia dapat menjadi negara yang terbelakang, karena sebagian besar penduduknya tidak bisa membaca.

Upaya penanggulangan kemungkinan buta huruf dapat dilakukan sejak dini yaitu dengan sekolah. Melalui bangku sekolah, anak dapat belajar untuk membaca agar nantinya tidak menambah daftar panjang permasalahan di Indonesia melalui penambahan angka penyandang buta aksara.

Berdasarkan sebuah penelitian, orang-orang yang menyandang buta aksara lebih tertinggal dan lebih terbelakang daripada orang-orang yang pandai dan bisa membaca. Oleh karena itu, apabila masyarakat suatu bangsa makin tertinggal dari bangsa lain, maka bisa dikatakan pembangunan negara tersebut juga masih tertinggal dari negara lain.

Buta aksara yang ada di Indonesia sebenarnya telah ada sejak zaman penjajahan. Dari pihak negara penjajah memang telah disengaja agar rakyat Indonesia menjadi lebih terbelakang dan bodoh-bodoh agar nantinya tidak merugikan mereka yang menjajah. Pada masa tersebut, tidak ada sekolah untuk rakyat yang bukan keturunan “ningrat”, sehingga rakyat Indonesia yang miskin sama sekali tidak ada kesempatan untuk mengenyam pendidikan dan terjadilah buta aksara. Hal ini sama sekali tidak menguntungkan rakyat Indonesia sendiri, karena menjadikan penjajah makin lama menduduki Indonesia.

Menurut pengamat sosial kemasyarakat Universitas Sebelas Maret, Prof Dr Sodiq A Kuntoro menegaskan disamping faktor kemiskinan baik struktural dan absolut, penyebab buta aksara juga dipengaruhi oleh masih tingginya angka putus sekolah di Indonesia. Menurut beliau lagi, adanya krisis multidimensional ini sangat mempengaruhi usaha pemerintah untuk mensukseskan wajib belajar 9 tahun. Setiap tahun hampir 1 juta anak terancam putus sekolah dasar dikarenakan berbagai sebab. Angka putus sekolah SD dan madrasah ibtidaiyah, dalam enam tahun terakhir rata-rata putus sekolah sebanyak 761.366 anak dari seluruh jumlah siswa SD dan MI sebanyak 25.729.254 anak di Indonesia.

Putus sekolah anak SD ini, lanjutnya menjadi penyumbang terbesar bagi bertambahnya jumlah buta aksara di Indonesia karena menurut penelitian UNESCO, jika peserta pendidikan sekolah dasar mengalami putus sekolah khususnya ketika dia masih duduk di kelas I hingga kelas III, maka dalam empat tahun tidak menggunakan baca tulis hitungnya, maka mereka akan menjadi buta aksara kembali. Belum lagi masih banyak anak Indonesia yang belum memiliki kesempatan untuk masuk sekolah karena orang tua atau keluarganya tidak mampu. Kondisi ini memaksa orang tua untuk mempekerjakan anak mereka untuk mendatangkan pemasukan tambahan bagi keluarga.

Metode yang Digunakan dalam Upaya Pemberantasan Buta Aksara Melalui Pendekatan Pengembangan Masyarakat

Pemberantasan buta aksara tidak dapat langsung dilaksanakan. Namun memerlukan waktu dan perancangan program yang tepat. Dalam Pengembangan Masyarakat, program biasanya dikembangkan untuk menyediakan pelayanan sosial yang secara langsung menyentuh klien atau sasaran perubahan. Dalam kasus pemberantasan buta aksara ini, perancangan program dapat dilaksanakan sebagai berikut:

1. Merumuskan nama program atau intervensi. Nama program bisa mengacu pada tujuan umum (goal) program yang berfungsi memberikan fokus pada rencana atau usaha perubahan, serta pedoman bagi maksud atau alasan-alasan mengapa program Pengembangan Masyarakat perlu dilakukan.
2. Menyatakan tujuan-tujuan hasil. Menjelaskan hasil-hasil yang ingin dicapai sebuah program secara terukur dalam kurun waktu tertentu dan dengan indikator atau ukuran yang ditetapkan. Misal: menetapkan kerangka waktu, mendefinisikan populasi sasaran, merumuskan hasil yang ingin dicapai, menyatakan indikator atau kriteria untuk mengukur pencapaian hasil.
3. Menyatakan tujuan-tujuan proses. Misal: menetapkan kerangka waktu bagi proses pencapaian tujuan, mendefinisikan populasi sasaran, merumuskan hasil dari proses pencapaian tujuan, menyatakan indikator atau kriteria yang dapat dijadikan dokumen
4. Mengidentifikasi kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan. Membuat format kegiatan-kegiatan untuk memudahkan pemantauan (monitoring), merumuskan kegiatan atau tugas yang harus selesai dilakukan untuk mencapai tujuan.
5. Mengembangkan rencana aksi. Merancang manajemen logistik, memilih dan melatih para partisipan.
6. Memonitor proses kegiatan. Memonitor kegiatan-kegiatan teknis, memonitor kegiatan-kegiatan interpersonal.
7. Mengevaluasi hasil intervensi. Membuat laporan-laporan evaluasi secara periodik berdasarkan hasil monitoring.

Upaya Pemerintah untuk Memberantas Buta Aksara di Indonesia

Indonesia dapat dikatakan Negara yang tergolong cepat dalam pemberantasan buta aksara. Bahkan hal ini telah diakui oleh badan-badan dunia seperti UNESCO, UNICEF, serta WHO. Hal ini menjadi sebuah prestasi tersendiri bagi pemerintah Indonesia khususnya. Oleh karena itu, setiap tahunnya pemerintah mempunyai target sendiri dalam upaya memberantas buta aksara. Pada tahun 2009 ini, pemerintah mentargetkan penurunan angka buta aksara sebanyak 5% dari tahun 2008.

Akan tetapi, pada dasarnya agak susah memang untuk dapat memberantas buta aksara secara tuntas karena buta aksara yang masih tersisa merupakan kelompok yang paling sulit diberantas. Sebab, sebagian besar dari mereka berusia di atas 44 tahun yang umumnya berasal keluarga kurang mampu, penglihatannya sudah terganggu dan kebanyakan tinggal di daerah terpencil.

Pemerintah tidak dapat hanya tinggal diam dengan keadaan seperti ini. Tingkat buta aksara di Indonesia yang masih tergolong tinggi akan mengakibatkan kurang produktifnya masyarakat, sehingga dapat dikatakan, hal ini digunakan sebagai indikator keberhasilan Pengembangan Masyarakat. Oleh karena itu, upaya pemerintah sangatlah kuat dalam upaya pemberantasan buta aksara. Hal ini dapat dilihat dari berbagai segi:

1. Pemerintah Indonesia mengalokasikan dana sebesar Rp 600 miliar pada tahun 2007 untuk program pemberantasan buta aksara. Dan jumlah dana ini berbeda tiap tahunnya.
2. Pemerintah pusat bekerjasama dengan pemerintah daerah beserta ormas-ormas lain untuk keberhasilan pelaksanaan program ini agar angka buta aksara di Indonesia dapat berkurang semaksimal mungkin. Diharapkan dengan adanya bantuan dari ormas lain, angka buta aksara dapat berkurang lebih cepat dan lebih terarah.
3. Pemerintah dapat bekerjasama dengan dinas pendidikan dimana upaya pemberantasan buta aksara dilaksanakan oleh perguruan tinggi, utamanya oleh mahasiswa. Hal ini dikarenakan: (pertama) para mahasiswa dapat dijadikan sebagai tutor yang telah mempunyai bekal kemampuan akademis dan usia yang masih muda sehingga mempunyai idealisme yang tinggi dalam rangka pencapaian tugas yang akan dibebankan. (kedua) mahasiswa akan lebih intens bertemu dengan warga belajar karena berada di lingkungan warga belajar. (ketiga) dengan pendekatan ini diharapkan waktu untuk pemberantasan akan empat kali lebih cepat dibanding dengan yang ditangani oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan organisasi lain. (keempat) adanya sebuah fakta bahwa nilai mahasiswa di mata masyarakat masih sangat tinggi sehingga diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap program ini juga meningkat.
4. Pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.
5. Pemerintah menerapkan strategi untuk pemberantasan buta aksara seperti yang diusulkan oleh UNESCO, yaitu (pertama) pemetaan jumlah penyandang buta aksara secara tepat. (kedua) perluasan informasi dan sosialisasi pentingnya melek aksara. (ketiga) pemberdayaan sekolah formal dan nonformal bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM). (keempat) program pendidikan membaca secara inovatif melalui kegiatan di luar sekolah. (kelima) menjalin kemitraan dengan UNESCO.

Contoh nyata upaya pemerintah dalam program pengentasan buta aksara ini antara lain pada tahun 2005, Depdiknas telah menyusun Rencana Strategis Pembangunan Pendidikan Nasional; (Renstra Depdiknas) untuk tahun 2005 -2009 yang menitik beratkan kepada terwujudnya kehidupan masyarakat, Bangsa dan Negara yang aman, bersatu, rukun dan damai, terwujudanya masyarakat Bangsa dan Negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan dan hak asasi manusia serta terwujudnya perekonomian yang ampuh menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan pondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan, yang dilandasi keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia.

Guna mewujudkan itu, Menteri Pendidikan Nasional pada tahun 2006 sampai 2009 ini telah menetapkan 3 pilar kebijakan pembangunan pendidikan agar setiap pengambil keputusan dan operator pendidikan di pusat maupun daerah memiliki komitmen bersama tentang pemerataan dan perluasan akses yang diarahkan pada upaya memperluas daya tampung satuan pendidikan sesuai dengan prioritas nasional, serta memberikan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik dari golongan masyarakat yang berbeda, baik secara sosial, ekonomi, gender, lokasi tempat tinggal dan tingkat kemampuan intelektual serta kondisi fisik. Kebijakan tersebut ditujukan untuk meningkatkan kapasitas penduduk Indonesia agar dapat belajar sepanjang hayat dalam rangka pemenuhan hak warga Negara terhadap pendidikan.

Dari contoh di atas, dapat kita simpulkan bahwa pendidikan sangatlah diutamakan, demi terwujudnya esensi dari pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Sangat jelas di sini bahwa Pemerintah Indonesia sangat menjunjung tinggi pendidikan dan selalu berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui upaya pengentasan buta aksara, mulai dari Wajib Belajar 9 tahun hingga sekolah gratis dan program pemberantasan buta aksara yang diperuntukkan warga yang bukan anak-anak lagi.

Namun Pemberantasan buta aksara tidak lagi cukup pada membuat warga yang belum melek huruf mampu membaca dan menulis. Program itu mesti diarahkan dan diintegrasikan untuk memberdayakan masyarakat menjadi lebih sejahtera. Upaya pemberantasan buta aksara diintegrasikan juga untuk membuat warga berdaya dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, dan kehidupan berbangsa. Tantangan sekarang bukan sekadar buta aksara hilang, tapi membuat warga berdaya untuk memperbaiki taraf hidup.

Pemerintah telah menetapkan fokus pemberantasan buta aksara. Fokus pemberantasan buta aksara tersebut terutama di daerah transmigrasi, pesisir, sekitar hutan, dan kepulauan. Selain itu, sasaran juga diperkuat bagi masyarakat perbatasan, masyarakat perkotaan yang belum terlayani, santri/pesantren tradisional, serta komunitas adat terpencil. Hal ini dikarenakan, masyarakat yang tinggal di daerah ini belum mampu secara ekonomi untuk menuntaskan belajar formal mereka, serta kurangnya tenaga pengajar yang ada di daerah ini.

Pemberantasan buta aksara merupakan salah satu fokus penting untuk memperbaiki indeks pembangunan manusia di tiap-tiap daerah. Berhasilnya program pemberantasan buta aksara akan membuat warga percaya diri dan berdaya untuk keluar dari kemiskinan dan keterbelakangan.

Kendala yang Dihadapi dalam Upaya Pemberantasan Buta Aksara

Tidak ada gading yang tak retak. Semua program pasti mempunyai kendala. Demikian juga dengan program pemberantasan buta aksara ini. Meskipun Indonesia mampu mengurangi angka penyandang buta aksara, namun ternyata dibalik itu semua para subjek pelaksana teknis menghadapi banyak kendala. Diantaranya adalah:
1. Banyak masyarakat penyandang buta aksara sudah terlalu tua sehingga kemampuan menyerap ilmu lebih lambat, belum lagi yang menderita gangguan pebgluhatan karena usia mereka yang sudah tidak muda lagi.
2. Adanya data yang tidak valid atau peserta fiktif. Hal ini dikarenakan mungkin karena tidak ada peminat untuk mengikuti diklat dalam upaya pemberantasan buta aksara. Mereka yang tidak ikut kebanyakan telah mempunyai kesibukan sendiri seperti bekerja di saawah ataupun menjadi ibu rumah tangga.
3. Dalam pelaksanaan program, terlalu memakan waktu sehingga tidak efisien bagi mahasiswa yang mempunyai kesibukan sendiri.

III. Rekomendasi

Kesimpulan

Indonesia mempunyai banyak masyarakat yang masih buta huruf. Buta huruf atau buta aksara adalah mereka yang tidak dapat membaca, dan menulis secara sederhana untuk keperluan sehari-hari. Definisi ini merupakan hal standar yang diakui secara internasional. Angka buta aksara di Indonesia masih tergolong tinggi mengingat banyaknya angka putus sekolah serta masyarakat yang belum mampu untuk membiayai sekolah.

Berbagai upaya telah ditempuh untuk program pemberantasan buta aksara ini. Diantaranya melalui metode pendekatan Pengembangan Masyarakat. Berdasarkan metode tersebut, ada tujuh langkah yang dapat dilaksanakan dan tujuh langkah tersebut harus berurutan sehingga dalam pelaksanaannya dapat diaplikasikan secara maksimal.

Pemerintah sendiri mempunyai berbagai cara untuk mengurangi angka buta aksara di Indonesia. Cara yang ditempuh dapat dilaksanakan melalui program sekolah gratis, bekerjasama dengan dinas pendidikan maupun ormas lain untuk memberikan diklat khusus kepada penyandang buta aksara. Tujuan dilaksanakan program ini antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat agar nantinya tidak tertinggal dari Negara lain. Pada tahun 2009 ini, pemerintah mentargetkan penurunan angka buta aksara sebesar 5% dengan anggaran dana sekitar Rp 600 miliar untuk teknis pelaksanaan di lapangan.

Dalam pelaksanaan program ini ditemui banyak kendala yang dihadapi di lapangan. Hal ini dikarenakan kurangnya partisipasi aktif dari masyarakat itu sendiri.

Saran

Dari ulasan di atas, saran yang dapat saya sampaikan antara lain:

1. Pemerintah harus lebih tegas dalam merancang sebuah program agar pada akhirnya suatu program dapat terlaksana dengan baik.
2. Pemerintah harus bekerjasama dengan pihak lain agar angka buta aksara di Indonesia dapat berkurang.
3. Tidak ada salahnya merancang program sekolah gratis, namun pemerintah juga harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat dan harus tetap memonitor agar pihak sekolah tidak menarik biaya terlalu mahal.
4. Program diklat harus dibuat semenarik mungkin agar dapat menarik minat masyarakat untuk mengikutinya.
5. Sebaiknya pemerintah membentuk sebuah badan khusus untuk menangani masalah buta aksara ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Pemberantasan Buta Aksara Mesti Diarahkan. http://www.indonesia.go.id. Diakses pada hari Rabu tanggal 28 Oktober 2009 pukul 13.40 WIB.

Jumini. 2009. Pemberantasan Buta Aksara Melalui KKN Tematik. UPTD Sanggar Kegiatan Belajar Kabupaten Blora Jawa Tengah. Diakses pada hari Rabu tanggal 28 Oktober 2009 pukul 13.40 WIB.

Mayo, M. (1998). “Community Work”, dalam Adams, Dominelli dan Payne (eds), Social Work: Themes, Issues and Critical Debates. London: McMillan.

Netting, F. Ellen, Peter M. Kettner dan Steven L. McMurtr y (2004). Social Work Macro Practice (third edition). Boston: Allyn and Bacon.

Payne, M. (1995). Social Work and Community Care. London: McMillan.

Twelvetrees, A. (1991). Community Work. London: McMillan.

Categories: tugas kuliah, Uncategorized | 9 Comments

Post navigation

9 thoughts on “UPAYA PEMBERANTASAN BUTA AKSARA DI INDONESIA

  1. rizkamulyani

    Makasih banyak infonya, sangat membantu 🙂

  2. RIZKI

    Makasi banget,, Verry good 🙂

  3. mayor inf ahmad gufronS.Ag

    kami pasi bhakti TNI bersama pasi ter kodim melaksanakan kerjasama dg diknas memberantas buta aksara mulai 2011 s.d sekarang

  4. nurjanah w

    sangat membantu (y) terimakasih:)

  5. Iwan Ridwan hudaya (tinggal di asrama 1974- 1977.

    pemberantasan buta aksara di Indonesia dirintis oleh KH Dewantara (1937) s/d pemerintah sekarang program masih berjala. Th 2013 dianggarkan 1,5 triliun, tapi penyandang buta aksara terus bertambah. Kegagalan program tsb diduga : 1 Pemerintah tdk memiliki komitmen yg utuh, 2. Metode pembelajarannya sangat tdk efektif dan tdk efisien. ( bukan karena kemiskinan, daerah terpencil, budaya masyarakat , jumlah tenaga guru). Insyaallah degn mnetode inovatif (metode Gerak & Imajinasi) yg ditemukan oleh saya Iwan R. Hudaya, buta aksara di Indonesia bisa tuntas dalam waktu singkat. Bahkan metode inovatif bisa dipergunakan di negara2 yg menggunakan huruf latin diseluruh dunia (Universal). Anda/komunitas yg berminat bekerjasama kontak ke 085888583335.

  6. mengapa buta aksara harus diberantas??

  7. deta viola sezha

    sebenarnya kebijakan pemerintah dalam menanggulangi buta aksara itu gmn ya??

Leave a comment

Blog at WordPress.com.